Sumedang_Jawa Barat
“ Di tengah perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat, dari satu sisi menimbulkan dampak positif dan di lain sisi bisa berdampak negatif. Disrupsi informasi merupakan salah satu dampak yang timbul, sehingga tidak sedikit orang – orang yang memanfaatkan kondisi ini untuk kepentingannya masing – masing. Bahkan tidak sedikit yang berdampak buruk, yaitu menimbulkan kerugian, keresahan masyarakat dan dampak negatif lainnya. Itulah beberapa konten negatif yang banyak beredar di masyarakat saat ini “, ujar Pemerhati Intelijen Dede Farhan Aulawi di Jatinangor Sumedang, Senin (4/11).
Hal tersebut ia sampaikan saat dirinya memenuhi undangan Focus Group Discussion Strategi Peningkatan Penanganan Konten Negatif Dalam Rangka Kondusifitas Kamtibmas dari Direktorat Intelijen Polda Jabar cq Subdit Keamanan Khusus (Kamsus). Kegiatan dilaksanakan di Hotel Dhika Serenity Jatinangor Sumedang. Dibuka oleh Wadirintelkam dan dihadiri oleh seluruh personil subdit Kamsus, para tokoh masyarakat, dan mahasiswa.
Pada kesempatan tersebut, Dede mengatakan bahwa strategi penanganan konten negatif pada dasarnya ada 3 hal, yaitu terkait dengan aturan hukum (rule of the game) untuk pencegahan dan penindakan, aspek teknis penanggulangannya (technical aspect), dan juga membangun kesadaran literasi masyarakat (public conciousness building). Hal ini harus dilakukan secara bersamaan sebagai upaya pengendalian dan penanganan konten negatif untuk menjaga keamanan ruang digital yang bisa berdampak pada terganggunya kondusifitas kamtibmas.
Sejauh ini pemerintah sebenarnya sudah melakukan upaya pengendalian dan penanganan konten negatif, misalnya dengan melakukan pemblokiran atau pemutusan akses, penyusunan regulasi dan panduan etika berkenaan dengan pemanfaatan teknologi terkini dalam upaya menjaga keamanan ruang digital. Regulasi yang sudah diterbitkan antara lain Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah membangun kesadaran literasi masyarakat agar bisa menyortir setiap informasi yang diterimanya. Hal ini tentu bukan hal yang mudah karena masyarakat tersebar, jumlahnya banyak dan terdiri dari berbagai strata sosial serta level pendidikan yang berbeda, sehingga daya terima dan daya tangkal konten negatif satu sama lain bisa berbeda. Dari sisi lain harus kita akui juga, bahwa secara umumnya literasi masyarakat masih rendah alias malas baca.
“ Negative content as a speech pada esensi nya membatasi pendistribusian dan penyebaran suatu konten yang bersifat sebagai informasi, dan informasi tersebut dapat berbentuk teks, gambar, suara, maupun gambar bergerak yang dapat memberikan arti bagi seseorang yang menerimanya (Tangible). Adapun jenis dari konten konten yang merupakan konten sebagai informasi diatur dalam UU ITE pasal 27 sampai dengan 29, yaitu seseorang dilarang menyebarkan informasi yang memiliki muatan melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan, pemerasan atau pengancaman, berita bohong atau menyesatkan, kebencian, dan ancaman kekerasan “, pungkas Dede.